Popular Posts

Powered by Blogger.

Kearifan Masyarakat Baduy







detikTravel Community -  
Baduy merupakan masyarakat di Kabupaten Lebak, Banten yang terkenal akan keunikan, kesederhanaan dan kearifan hidup mereka dengan alam. Banyak pelajaran yang bisa diperoleh dalam perjalanan yang seru dan menyenangkan.

Perjalanan saya kali ini merupakan perjalanan budaya menuju Baduy Dalam yang eksotis. Bersama 10 orang lainnya dari komunitas Ngetengmania, saya melakukan kunjungan selama 3 hari 2 malam. Karena bertepatan dengan musim durian, maka pesta durian yang melimpah di sana menjadi salah satu tujuan utama kami. Meskipun ini bukan perjalanan pertama saya ke Baduy Dalam, namun rasa ketertarikan untuk kembali dan kembali lagi seakan tak pernah luntur karena keunikan adat, kesederhanaan dan kearifan hidup mereka.

Suku Baduy atau biasa disebut "Urang Kanekes" tinggal di tengah hutan berbukit di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Suku ini merupakan salah satu suku yang masih setia mempertahankan dengan teguh adat istiadat mereka, hidup berdampingan dengan alam dalam kearifan dan kesederhanaan serta menolak pengaruh modernisasi dalam keseharian mereka. Kehidupan mereka masih sangat bergantung dari pemberian alam seperti hasil bertani, berkebun dan hasil hutan lainnya, sehingga mereka sangat arif dalam mengelola dan menjaga kondisi alam di tempat mereka tinggal.

Suku Baduy terbagi menjadi dua yaitu Suku Baduy Dalam yang masih terus menjaga dengan ketat adat istiadat mereka dan juga Suku Baduy Luar yang mulai menerima modernisasi meskipun tidak meninggalkan adat isitiadat mereka secara keseluruhan. Baduy terdiri dari 3 desa Baduy Dalam, yaitu Desa Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik, dan sekitar 53 desa Baduy luar, antara lain Desa Gajeboh, Kaduketug dan Cijengkol.

Ada beberapa aturan adat utama yang perlu diingat bila hendak ke Baduy Dalam, antara dilarang merekam atau mengambil gambar menggunakan alat elektronik dan menggunakan bahan kimia yang dapat merusak alam seperti sabun dan pasta gigi. Sedangkan di Baduy Luar tidak ada aturan yang ketat seperti itu namun kita sendirilah yang harus bijak menempatkan diri dan melestarikan budaya serta keasrian alam disana.

Hari pertama, perjalanan kami mulai dengan berkumpul di Stasiun Tanah Abang sekitar pukul 7 pagi untuk selanjutnya berangkat menggunakan kereta Patas Rangkasjaya menuju Rangkasbitung dengan jadwal keberangkatan pukul 07.40 pagi. Cukup dengan membeli tiket seharga Rp 4,000 ribu kami diantar sampai Stasiun Rangkasbitung dengan waktu tempuh kurang lebih satu setengah jam. Sesampainya di Rangkasbitung, kami mampir terlebih dahulu di pasar untuk berbelanja bahan makanan untuk bekal kami serta belanja oleh-oleh yang nantinya akan kami bagikan ke penduduk desa Baduy Dalam.

Setelah berbelanja, karena dari stasiun tak ada angkutan langsung menuju Baduy, maka kami naik angkot menuju Terminal Aweh dengan ongkos Rp 3.000 ribu, dimana di terminal inilah tersedia angkutan menuju Baduy. Dari terminal ini kami menumpang angkot elf jurusan terminal Ciboleger, pintu masuk utama Baduy dengan ongkos Rp 15.000 ribu.

Namun karena kali ini kami akan masuk ke Baduy melalui Pasar Karoya, maka kami meminta angkot elf tersebut untuk sedikit berbelok dari Ciboleger menuju Pasar Karoya. Dengan melalui Pasar Karoya kami bisa memotong waktu tempuh perjalanan berjalan kaki menuju Desa Cibeo tempat kami menginap menjadi kurang dari 2 jam. Sedangkan bila melalui jalur resmi Ciboleger waktu tempuhnya bisa mencapai 3 sampai 4 jam berjalan kaki.

Setelah dua jam perjalanan menggunakan elf, sekitar pukul satu siang kami pun sampai di Pasar Karoya, dan disana kami sudah ditunggu oleh teman-teman kami dari Suku Baduy Dalam. Selepas beristirahat dan berkenalan, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju Desa Cibeo dengan panduan dari Yardi, Juli dan beberapa orang lainnya sebagai guide kami dari Suku Baduy Dalam. Perjalanan yang memakan waktu kurang dari dua jam kami lalui sambil bercanda dan berbincang dengan guide kami untuk sedikit memenuhi rasa keingintahuan kami akan kehidupan di Baduy Dalam.

Dalam perjalanan ini kami harus naik turun bukit, menyeberangi beberapa sungai dan melewati satu desa Baduy Dalam lainnya yaitu Desa Cikertawana. Sesampainya di Desa Cibeo, kami langsung menuju rumah ayah Yardi tempat kami menginap untuk menaruh barang bawaan sekaligus beristirahat. Ayah Yardi adalah ayah dari salah satu guide kami yaitu Yardi, ada kebiasaan suku baduy untuk memanggil seseorang yang telah menjadi ayah dengan sebutan Ayah diikuti dengan nama anak pertamanya.

Sambil beristirahat, kami mempersiapkan oleh2 seperti ikan asin, gambir, dan makanan ringan yang akan kami bagi-bagikan ke warga desa. Selepas beristirahat dan selesai mempersiapkan oleh-oleh, tiba saatnya untuk membagi-bagikan oleh-oleh ke penduduk desa Cibeo dengan mendatangi rumah-rumah mereka satu persatu. Kegiatan ini kami jadikan sebagai ajang untuk mengenal lebih dekat suasana desa dan kehangatan warga desa kepada pengunjung, meskipun ada sebagian dari mereka yang terlihat ragu dan sedikit malu-malu namun hal ini justru menjadikan kami penasaran dan tertantang untuk mengenal dan berbincang lebih dekat dengan mereka.

Kegiatan ini menjadi acara yang sangat seru bagi kami karena dapat langsung berinteraksi dengan mereka dengan segala kesederhanaan, keramahtamahan dan kearifan budaya mereka. Setelah keliling desa, kami kembali ke rumah ayah Yardi untuk beristirahat, bersih-bersih dan mempersiapkan makan malam diselingi dengan bincang-bincang dengan anggota keluarga ayah Yardi beserta warga desa lain yang ikut berbaur. Didalam rumah panggung yang sempit itu kami berbagi cerita tentang sejarah dan adat-istiadat Suku Baduy diselingi dengan memakan buah durian berukuran besar yang manis pemberian salah satu teman Baduy kami.

Selepas maghrib setelah makan malam siap, kami langsung berkumpul untuk menikmati makan malam bersama anggota keluarga ayah Yardi beserta beberapa warga lain yang sengaja kami undang untuk ikut makan bersama agar suasana makan malam menjadi lebih ramai dan meriah. Meskipun hanya memasak masakan yang sederhana, yaitu mie rebus dan telur dadar, namun dengan bumbu kebersamaan dan kehangatan menjadikan semuanya terasa sangat spesial. Setelah makan malam dan hari sudah sangat gelap, karena minimnya penerangan di desa, kamipun memutuskan untuk tidur agar esok hari tubuh bisa fit untuk kembali melakukan perjalanan.

Hari kedua setelah bersih-bersih, sarapan pagi dan menyiapkan bekal untuk makan siang, kami bersiap meninggalkan desa untuk melanjutkan perjalanan kami menuju jembatan akar. Perjalanan ke jembatan akar menjadi perjalanan yang cukup melelahkan karena memakan waktu kurang lebih tiga jam dari desa Cibeo melaui jalan setapak yang becek dengan membelah hutan yang cukup lebat serta berbukit-bukit. Namun semua rintangan itu tidak mengurangi rasa ketertarikan kami akan jembatan akar alami yang melintang diatas sungai yang cukup lebar dan deras dengan pemandangan alam yang masih asri dan cukup eksotik.

Sesampainya di jembatan akar kami melakukan banyak hal mulai dari memenuhi rasa penasaran kami akan terbentuknya jembatan ini. Kami bermain air di tepian sungai sampai berenang di sungai serta ada sebagian dari kami termasuk saya yang tertantang untuk melompat terjun dari batu besar ke sungai yang cukup dalam dan deras.

Setelah puas bermain air, kami makan siang di tepian sungai dengan bekal yang sudah kami siapkan dari desa dan dilanjutkan dengan jalan kaki menuju saung di tengah ladang untuk bermalam di sana. Dalam perjalanan menuju saung kami sedikit berputar untuk menyambangi beberapa desa Baduy Luar. Sayangnya hujan yang cukup lebat terus mengiringi perjalanan kami sehingga kami tidak dapat melihat aktivitas harian dan berinteraksi dengan warga di desa-desa yang kami lewati tersebut.

Setelah tiga jam berjalan kaki ditemani hujan lebat, akhirnya kami pun sampai di saung dengan rasa lelah, kedinginan dan perut yang keroncongan. Kamipun langsung mengais-ngais isi tas untuk mencari makanan ringan yang bisa kami makan. Saking laparnya apapun yang kami temukan menjadi bahan rebutan dan langsung habis saat itu juga. Untung saja ada buah kelapa muda yang baru dipetik oleh Sapri dari pohon di belakang saung. Dan perasaan lelah setelah berjalan jauh melewati alam dan cuaca yang kurang bersahabatpun langsung hilang terkikis keceriaan dan kebersamaan yang menyenangkan.

Karena hujan tak kunjung berhenti, kami pun berebut untuk bersih-bersih bergantian serta berganti pakaian di saung mini yang hanya berukuran 15 meter persegi. Setelah bersih-bersih, acara dilanjutkan dengan makan malam dan setelah kenyang, ditambah faktor kelelahan kami pun langsung terlelap berserakan tak beraturan.

Hari ketiga merupakan hari terakhir kami di Baduy. Sayangnya karena keterbatasan transportasi keluar Baduy yang hanya tersedia hingga pukul 1 siang, maka kami harus berpacu dengan waktu sehingga tak banyak yang bisa kami lakukan selain berkemas. Kami memulai hari dengan menyalakan tungku untuk menghangatkan tubuh, sambil memasak air untuk membuat minuman jahe, teh, kopi dan mempersiapkan sarapan pagi. Sambil menunggu sarapan matang, ternyata kami kembali disajikan durian jatuh dari pohon yang baru saja diambil dari kebun di sekitar saung yang tentu saja sulit kami tolak dan akhirnya langsung habis dalam sekedipan mata.

Setelah menikmati durian dan sarapan pagi, kamipun segera berkemas. Selanjutnya kami kembali berjalan kaki selama tiga jam menembus hutan berbukit dan menyusuri sungai jernih dengan lingkungan yang masih asri menuju kampung Ciboleger tempat terminal angkutan umum berada. Sesampainya di Ciboleger, kami sempatkan untuk bersih-bersih dan tak lupa membeli buah tangan untuk selanjutnya pulang ke Jakarta dengan perasaan senang luar biasa meskipun tubuh terasa lelah.

Selama perjalanan kami di Baduy Dalam, banyak pelajaran hidup yang kami dapatkan dari mereka diantaranya kebaikan, kejujuran, ketulusan, kesederhanaan dan kearifan dalam menjalani hidup ini. Satu catatan bila berkunjung ke Baduy, hendaknya kita menghormati adat-istiadat mereka dengan tidak melanggar aturan-aturan yang sudah ditetapkan selayaknya mereka menghormati dan melayani kedatangan kita dengan tulus.
< >

No comments:

Post a Comment